jarikaki: Diam
Senin, 28 Mei 2007
Rabu, 23 Mei 2007
Diam
Gadget Freak
Sudah beberapa minggu ini saya berkutat dengan komputer. Sesampainya di kantor yang saya sentuh pertama kali pasti adalah tombol on dari cpu kompie agar menyala dan menghidup kembali komputer saya. Tepatnya kebetulan sekali, karena sudah beberapa minggu ini saya betul-betul santai di kantor. Kenapa? Karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Tidak ada kerjaan. Jadi kerjaan saya tiap hari tidak bukan ya bermain-main dengan komputer saja.
Ya membuka Microsoft windows, nge-browsing situs ini itu (tapi bukan porno loh), ngecek email, bales ini itu, update profile, ubah account , buka foto-foto kenangan, de el el dan selebihnya cuma ngobrol dan makan siang. Kenapa bisa sesantai itu? Saya juga tidak begitu mengerti. Tapi yang jelas saya juga bukan tipe pemalas, malahan semua saya kerjakan dengan cepat dan rapi. Sehingga sisa waktu yang bolong-bolong itu biasanya membuat saya bingung. Mau ngapain lagi. Tapi yang jelas saya menikmati momen santai ini. Saat dimana saya bisa mengobrol dengan teman melalui ym atau email. Saat dimana saya tidak pernah mengalaminya di kantor saya sebelumnya. Asyik? ya pasti lah. Tapi saking rutinnya saya melakukan aktifitas ini melalui computer, seperti ada yang ganjil dan aneh muncul di diri saya.
Suatu hari, system computer di kantor mendadak tidak berfungsi. Tidak ada satupun yang menyadari, hingga suatu pagi sesampainya saya di kantor saya langsung memencet-mencet tombol cpu yang biasa saya sentuh pertama kali tiba di ofiz. Saya terkejut dan mengulanginya beberapa kali sebelum tersadar bahwa computer memang tidak bisa menyala. Klik..klik.. Oh My God!
Tidak terdengar suara apapun dari balik kotak besi berukuran persegi panjang yang berdiri di dekat kaki saya itu. Saya menatap perlahan monitor tercinta beberapa menit. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mata yang memancar berupa sinar kehijauan cerah itu tak lagi ada.
Saya pun panik. Hampir sama dengan paniknya seorang ibu yang baru saja kehilangan anak kesayangannya. Atau ibarat majikan yang punya hewanpeliharaan hamper sekarat dan mau mati. Mati? iya mati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada nafas. Semua diam. Langsung saja saya lari mencari seseorang yang tidak lain tidak bukan adalah si mas Gendon, si tukang IT kantor. Hobi dan pekerjaannya yang sama yaitu membetulkan computer rusak.
‘Mas Gendoooon!!!! Pekik saya.Namanya Gendon, sudah dapat ditebak bahwa ia pastilah berbadan bulat dan gemuk. Kulitnya hitam. Tapi ia ramah pada siapa saja. Panggilannya banyak, ya siluman, jenglot, setan, genderuwo, dan sebutan menyeramkan lainnya. Jahat betul yang memberi nama itu kepadanya, tapi ia toh cuek saja. Itu sapaan sayang semua karyawan kepadanya.
Kemudian saya baru tersadar kalau si mas Gendon alias si tukang IT tidak pernah akan datang sebelum jam 11 teng. Juga tidak pernah tinggal lama di kantor. Alias kalau sudah tidak ada problem dan yg rusak lagi, ya iapun langsung cabut. Bablas pulang tidak pakai lihat-lihat lagi apakah udah jam pulang kantor atau belum. Duh, enaknya jadi IT. Jadi sirik sedikit saya.
Tapi hari ini, mana dia? Jam sudah melebihi angka 12. tepatnya jam 2 sore.
‘Zi, si mas IT mana?’ Tanya saya memasuki ruang keuangan langsung bertanya pada teman saya. Berharap mungkin dia ada disitu.
“Gak tau, ntar gw tanyain dech ama pak edi.’ Ujarnya.
“pak, liat si jenglot ga?’ Tanya zi kepada pimpinannya dengan santai.
“oooh, si siluman ya? Gak tau. Lom dateng kale..” jawab salah satu pria yang bisa disebut si boss tua disitu yg mendapat julukan bapak bagian keuangan itu dgn santai.
“Gak ada Diez. Lom dateng kale” balas zi lagi kepada saya.
Mondar-mandir lima belas menit di depan kantor masih juga si tukang IT belum menampakkan batang hidungnya. Dan akhirnya lima jam sudah saya duduk menatap si badan pesakitan itu. Saya sedih. Kenapa kau bisa sakit, ya nak? Bangunlah! Saya berkata-kata sendiri, dalam hati tentu saja, tanpa sadar.
Apa karena dirimu kecapekan tiap hari kumainkan terus? Atau apakah kau lagi ingin istirahat barang sehari.Tapi, ah. Mana bisa computer minta cuti libur? Emangnya karyawan kantor. Sesekali kupandangi mesin kotak di hadapanku ini. Tatapan penuh iba mempercepat waktu menjadi senja.
Yah, pupus sudah rencana hari ini mengecek email dan mendelete spam yang sering masuk ke inbox . Hilang sudah rencana untuk mengisi testimoni untuk seorang teman. Pupus juga rencana merubah tampilan depan dari friendster saya supaya lebih ceria. Lenyap juga rencana membuat album foto di salah satu website email saya. Karena si Mesin yang ngambek.Atau mungkin sakit. Atau apakah power supplymu kurang, nak? Ataukah ada kabelmu yang lupa di colokin? Atau ada trouble dari pusatkah? Saya tak tahu pasti. Begitu juga dengan orang-orang kantor. Tiada yang tahu dan dapat dilakukan lagi. Tidak juga ada yang mengerti. Dan saat ini,saya baru tersadar betapa diri saya telah menjelma menjadi ‘Gadget Freak’ dan teman chat saya bilang ‘Techno Freak” yaitu si pemakai salah satu perangkat teknologi yang pada akhirnya menjadi begitu addicted dengan media tersebut dan biasanya akan merasa aneh kalau tidak menggunakannya satu hari saja. Kecanduan??? Oh, No!!
Ps: dedicated to my kompie di batara...
Baby Boy
Di kantor saya ada ibu hamil. Ya, itu sebutan dari saya dan teman-teman yang lain yang ditujukan kepada seorang cewek berumur 23 tahun, beberapa tahun lebih muda dari saya tepatnya.Wah, jadi ketahuan identitas umurnya. Sekarang ini ia sedang berbadan dua. Terkadang saat iseng kami serempak memanggilnya si ‘Ibu Hamil’, karena ia satu-satunya wanita di kantor yang tengah mengandung hampir setengah jalan. Maksudnya hampir menuju lima bulan, ya iya setengah jalan. Hobinya bisa dibilang unik: datang agak siang, ngumpul di ruangan saya, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketiwi dan sukanya duduk tepat di depan saya.
Ceritanya banyak, hampir tiada hari tanpa cerita. Kami, berempat dengan teman seruangan saya, selalu mendengarkan ia bercerita dari mulai cerita jabang bayinya, suaminya, keluarganya, mertuanya, bahkan makanan kesukaan. Tentunya, ia punya segudang cerita yang baru setiap hari. Mau tidak mau sayapun pasti mendengarnya, ya iyalah lah wong duduk selalu di depan meja saya yang kebetulan ada kursi kosong disitu, dan tidak enak kalau tidak ikutan nimbrung juga atau setidaknya sekedar mengomentari, menimpali, juga menambah-nambahi ceritanya dengan kata-kata yang sering terlontar dari mulut seperti: 'oh ya', 'masa siy', 'koq bisa gitu ya', 'ya ampun', dan lain-lainnya yang terpikirkan oleh saya dengan mata yang tetap menuju ke depan, ke monitor komputer saya tentu saja.
Pertama-tama lontaran seperti itu hanya sekedar untuk membuat hatinya senang setiap hari karena kata orang tua, pamali kalau membuat seorang wanita yang sedang hamil itu sedih. Tidak boleh. Big NO. Tapi lama kelamaan, keengganan saya mengikuti alur ceritanya yang bisa seharian, atau dua hari dua malam terus menerus kalau diukur panjang durasinya itu spontan berubah menjadi ketertarikan. Saya tak tahu pasti, mengapa semakin hari bertambah saya jadi semakin tertarik dengan cerita-cerita yang dilemparnya. Cerita tentang impiannya terhadap si jabang bayi dan keluarga kecil itu. Semakin hari saya semakin tertarik dan menyukai berbagai versi cerita menarik, yang kalau disusun sudah bisa jadi satu buku itu. Juga sayapun tak tahu pasti sejak kapan saya menjadi kecanduan menunggu cerita selanjutnya di pagi hari hingga petang itu. Cerita tentang semua hal yang dulu saya tak mau tahu itu kini menjadi suatu yang ingin saya dengarkan dan ketahui sekarang bersama teman-teman.
Mengapa tiba-tiba saya membayangkan diri ini menjelma menjadi dirinya. Membayangkan tengah berbadan dua dan tengah menikmati masa-masa indah tahun-tahun pertama pernikahan. Dan juga masa indah penantian sang buah hati. Apakah saya sudah gila? Apakah saya sedang berimajinasi? Tapi mengapa bayangan itu mampu memberi sensasi indah. Ataukah saya mungkin hanya mengharapkan suatu yang berbeda dalam rutinitas hidup yang saat ini terlihat semakin membosankan.
Terkadang saya geli sendiri, karena setelah semua ini, saya merasa sudah mengetahui atau setidaknya jadi tahu kalau USG itu dilakukan setelah sang bayi genap berusia lima bulan atau lebih. Tahu kalau sang ibu pantang bermarah-marah atau membenci orang lain kalau tidak mau anaknya nanti berperilaku atau mirip dengan tokoh yang ia benci dulu. Tahu kalau baju bayi harus dibeli saat sudah lahir bayinya. Tahu kalau ada acara tujuh bulanan untuk sang ibu dan sang jabang bayi. Tahu kalau air kelapa itu baik ,bagus untuk janin. Tahu kalau musik klasik baik untuk pertumbuhan janin, dan tahu semua hal yang berhubungan dengan kehamilan dan segala tetek-bengeknya. “ dewasa sebelum waktunya’, kata teman-teman saya bilang.
Tapi mau bagaimana lagi, lah wong si pencerita selalu ada setiap hari di depan saya dan menceritakan hal-hal itu kepada saya dan otomatis saya juga jadi ikut mendengarkan dan otomatis terekam di otak saya.
Tapi sejujurnya saya senang dan tidak menolak apapun mengenainya dan menyimpan diotak saya. Mengapa? Saya juga tidak tahu. Sensasi atau sekedar apalah itu. Sepertinya kok ya enak seperti teman saya yang sekarang menajdi selalu diperhatikan oleh sekitarnya. Selain perutnya yang kian membuncit dan hobinya yang selalu mengusap-usap perut tanpa sadar. Terkadang sayapun juga ketularan. Ketularan jadi suka mengusap-usap perut sendiri saat setelah makan. Apa mungkin itu karena sakit kekenyangan atau karena sekedar masuk angin hingga jadi sakit perut.
Tapi untuk mengalami itu, mengalaminya sendiri, mungkin saya masih belum berani. Ya jelas, belum berani. Lah wong, secara saya masih single dan pun masih belum terikat oleh yang namanya pernikahan. Pamali kata orang sunda bilang. Begitupun kata orang tua. ora ilok.
Sisi kecil saya sendiripun rasanya masih takut bila dihadapkan kenyataan untuk bersiap meregang nyawa, antara hidup dan mati. Mengerikan.Terutama saat teman saya meminta pendapat :”Enak yang mana, melahirkan normal atau cesar?” wuiih kalau untuk yang satu ini sempat membuat saya merinding ketakutan setengah mati. Tapi kemudian sayapun menjawab pertanyaan itu dengan ekspresi cool dan sok berani:” ya, pilih yang normal saja lah.” Mata saya tak berani menatapnya. Berpura-pura menatap computer supaya tidak ketahuan bohongnya. Atau ketakutannya saya?
Dalam hati berkata kalau bisa mah tidak perlu lah rasanya melahirkan dengan proses separah itu. Sejujurnya saya takut juga membayangkan keduanya. Apalagi untuk mengalaminya. Hiiii….takuuuut…
Ps: story from reality
Inspired by my friend Zi
Ceritanya banyak, hampir tiada hari tanpa cerita. Kami, berempat dengan teman seruangan saya, selalu mendengarkan ia bercerita dari mulai cerita jabang bayinya, suaminya, keluarganya, mertuanya, bahkan makanan kesukaan. Tentunya, ia punya segudang cerita yang baru setiap hari. Mau tidak mau sayapun pasti mendengarnya, ya iyalah lah wong duduk selalu di depan meja saya yang kebetulan ada kursi kosong disitu, dan tidak enak kalau tidak ikutan nimbrung juga atau setidaknya sekedar mengomentari, menimpali, juga menambah-nambahi ceritanya dengan kata-kata yang sering terlontar dari mulut seperti: 'oh ya', 'masa siy', 'koq bisa gitu ya', 'ya ampun', dan lain-lainnya yang terpikirkan oleh saya dengan mata yang tetap menuju ke depan, ke monitor komputer saya tentu saja.
Pertama-tama lontaran seperti itu hanya sekedar untuk membuat hatinya senang setiap hari karena kata orang tua, pamali kalau membuat seorang wanita yang sedang hamil itu sedih. Tidak boleh. Big NO. Tapi lama kelamaan, keengganan saya mengikuti alur ceritanya yang bisa seharian, atau dua hari dua malam terus menerus kalau diukur panjang durasinya itu spontan berubah menjadi ketertarikan. Saya tak tahu pasti, mengapa semakin hari bertambah saya jadi semakin tertarik dengan cerita-cerita yang dilemparnya. Cerita tentang impiannya terhadap si jabang bayi dan keluarga kecil itu. Semakin hari saya semakin tertarik dan menyukai berbagai versi cerita menarik, yang kalau disusun sudah bisa jadi satu buku itu. Juga sayapun tak tahu pasti sejak kapan saya menjadi kecanduan menunggu cerita selanjutnya di pagi hari hingga petang itu. Cerita tentang semua hal yang dulu saya tak mau tahu itu kini menjadi suatu yang ingin saya dengarkan dan ketahui sekarang bersama teman-teman.
Mengapa tiba-tiba saya membayangkan diri ini menjelma menjadi dirinya. Membayangkan tengah berbadan dua dan tengah menikmati masa-masa indah tahun-tahun pertama pernikahan. Dan juga masa indah penantian sang buah hati. Apakah saya sudah gila? Apakah saya sedang berimajinasi? Tapi mengapa bayangan itu mampu memberi sensasi indah. Ataukah saya mungkin hanya mengharapkan suatu yang berbeda dalam rutinitas hidup yang saat ini terlihat semakin membosankan.
Terkadang saya geli sendiri, karena setelah semua ini, saya merasa sudah mengetahui atau setidaknya jadi tahu kalau USG itu dilakukan setelah sang bayi genap berusia lima bulan atau lebih. Tahu kalau sang ibu pantang bermarah-marah atau membenci orang lain kalau tidak mau anaknya nanti berperilaku atau mirip dengan tokoh yang ia benci dulu. Tahu kalau baju bayi harus dibeli saat sudah lahir bayinya. Tahu kalau ada acara tujuh bulanan untuk sang ibu dan sang jabang bayi. Tahu kalau air kelapa itu baik ,bagus untuk janin. Tahu kalau musik klasik baik untuk pertumbuhan janin, dan tahu semua hal yang berhubungan dengan kehamilan dan segala tetek-bengeknya. “ dewasa sebelum waktunya’, kata teman-teman saya bilang.
Tapi mau bagaimana lagi, lah wong si pencerita selalu ada setiap hari di depan saya dan menceritakan hal-hal itu kepada saya dan otomatis saya juga jadi ikut mendengarkan dan otomatis terekam di otak saya.
Tapi sejujurnya saya senang dan tidak menolak apapun mengenainya dan menyimpan diotak saya. Mengapa? Saya juga tidak tahu. Sensasi atau sekedar apalah itu. Sepertinya kok ya enak seperti teman saya yang sekarang menajdi selalu diperhatikan oleh sekitarnya. Selain perutnya yang kian membuncit dan hobinya yang selalu mengusap-usap perut tanpa sadar. Terkadang sayapun juga ketularan. Ketularan jadi suka mengusap-usap perut sendiri saat setelah makan. Apa mungkin itu karena sakit kekenyangan atau karena sekedar masuk angin hingga jadi sakit perut.
Tapi untuk mengalami itu, mengalaminya sendiri, mungkin saya masih belum berani. Ya jelas, belum berani. Lah wong, secara saya masih single dan pun masih belum terikat oleh yang namanya pernikahan. Pamali kata orang sunda bilang. Begitupun kata orang tua. ora ilok.
Sisi kecil saya sendiripun rasanya masih takut bila dihadapkan kenyataan untuk bersiap meregang nyawa, antara hidup dan mati. Mengerikan.Terutama saat teman saya meminta pendapat :”Enak yang mana, melahirkan normal atau cesar?” wuiih kalau untuk yang satu ini sempat membuat saya merinding ketakutan setengah mati. Tapi kemudian sayapun menjawab pertanyaan itu dengan ekspresi cool dan sok berani:” ya, pilih yang normal saja lah.” Mata saya tak berani menatapnya. Berpura-pura menatap computer supaya tidak ketahuan bohongnya. Atau ketakutannya saya?
Dalam hati berkata kalau bisa mah tidak perlu lah rasanya melahirkan dengan proses separah itu. Sejujurnya saya takut juga membayangkan keduanya. Apalagi untuk mengalaminya. Hiiii….takuuuut…
Ps: story from reality
Inspired by my friend Zi
Senin, 21 Mei 2007
Zona Jarikaki
Selamat Datang di zona Jarikaki,
tempat semua serpihan, cuilan, cungkilan, sisa-sisa cerita sempat tertempel di jari-jari manisku !
part 1
Kukibas kedua kaki hingga semuanya berjatuhan, berserakan, cerita-cerita yang tanpa sengaja sempat tertempel disela-sela jarikakiku. Kuraup, kukumpulkan satu demi satu, lalu kususun kembali di situ.
Cuilan yang pertama jatuh, warnanya sudah memudar. Agak cokelat kekuningan, dengan retakan dan patahan disana-sini. Kurasa itu cuilan dari masa lalu. Waktu yang telah berusia hampir sama dengan umur kelahiranku. Kuraih pelan-pelan supaya tidak jatuh terpecah dan berderai. Itu warna masalalu, masa yang dulu sempat kuwarnai kadang dengan kelabu dan merah jingga. Ku amati sejenak, lalu kutempelkan lagi seperti bentuknya semula.
Cuilan yang kedua ikut jatuh kelantai, setelah kibasan kakiku yg tergesa. Warnanya hijau muda jenaka. Kurasa itu cerita dari kanak-kanak hingga ku beranjak agak sedikit dewasa. Ku sedikit tergelak saat membayangkan semua peristiwa itu. Tingkah laku dan semua kekonyolan itu. Bermain dengan teman, bercanda, tertawa gila, bahkan berkelakuan gila pula. Ah, sudah kenyang kuamati itu lalu kuraih cepat. Ku susun kembali warnanya agar tepat disamping kuning cokelat.
Kibasan yang ketiga sempat membuat cuilan seluruhnya berwarna terang. Warnanya itu seperti mentari menyusup mata yang tak berkedip menusuk jari-jari kakiku. Warnanya putih benderang menyilaukan bergeliat-geliat. Cuilan itu melompat-lompat hendak menerobos genggamanku. Kurasa itu cuilan asa dan harapan yang berlarian dan sempat kewalahan ku menangkapnya. Tapi sudah dapat ku raih dan langsung kutempelkan kembali sebelum Ia sempat ingin melarikan diri dari jari-jariku lagi.
Sisa cuilan terakhir tidak juga mau terlepas dan jatuh ketanah. Kukibaskan berkali-kali dan lagi, tetap juga tertempel di kaki. Apa itu, keinginan rasa untuk mengeletek dan merobeknya supaya cungkilan itu mau lepas dan bsia kulihat warna didalamnya sempat membuatku lelah setengah mati. Aku hanya ingin tau warnanya. Aku tak tahu itu apa. Kutarik napas dalam dan kutatap dengan sabar. Aku menyerah. Namun tiba-tiba cungkilan itu terlepas perlahan dari kulit kakiku dan jatuh ringan sedikit melayang-layang sebelum akhirnya sampai ke tanah. Oh, ternyata warnanya biru muda, atau mungkin merah muda, atau pink. Aku tak bisa dengan pasti menduga itu percampuran warna apa. Yang kutahu cungkilan itu begitu indah. Kubalikkan cungkilan itu dan tepat di bagian belakangnya terdapat wajah seorang wanita berusia setengah abad yang tersenyum bahagia. Kurasa itu ibuku. Kuamati lebih dalam lagi, dan ada sesuatu yang menggelitik benakku. Rambut wanita disitu panjang melebihi bahu, sedangkan seingatku ibu tak pernah membiarkan rambutnya panjang melebihi telinga. Aku tergugu dan lama terdiam. Ku jadi tak tahu siapa wanita itu, hanya ada perasaan nyaman dan bahagia disitu.
Senja hampir menyapa di pesisir pantai putih yang kususuri seharian ini. Burung liar bersahut-sahutan memanggil kawannya. Aliran air pantai disertai pasir berlarian menghampiri sebelum akhirnya menabrak sela-sela jari kaki. Helaian rambut yang panjang melebihi bahu tersambar-sambar angin, sang angin yang juga berlarian mengejar langkah-langkah kakiku.
...dan serpih-serpihannya pun ikut tersenyum berjalan bersama langkahku..
tempat semua serpihan, cuilan, cungkilan, sisa-sisa cerita sempat tertempel di jari-jari manisku !
part 1
Kukibas kedua kaki hingga semuanya berjatuhan, berserakan, cerita-cerita yang tanpa sengaja sempat tertempel disela-sela jarikakiku. Kuraup, kukumpulkan satu demi satu, lalu kususun kembali di situ.
Cuilan yang pertama jatuh, warnanya sudah memudar. Agak cokelat kekuningan, dengan retakan dan patahan disana-sini. Kurasa itu cuilan dari masa lalu. Waktu yang telah berusia hampir sama dengan umur kelahiranku. Kuraih pelan-pelan supaya tidak jatuh terpecah dan berderai. Itu warna masalalu, masa yang dulu sempat kuwarnai kadang dengan kelabu dan merah jingga. Ku amati sejenak, lalu kutempelkan lagi seperti bentuknya semula.
Cuilan yang kedua ikut jatuh kelantai, setelah kibasan kakiku yg tergesa. Warnanya hijau muda jenaka. Kurasa itu cerita dari kanak-kanak hingga ku beranjak agak sedikit dewasa. Ku sedikit tergelak saat membayangkan semua peristiwa itu. Tingkah laku dan semua kekonyolan itu. Bermain dengan teman, bercanda, tertawa gila, bahkan berkelakuan gila pula. Ah, sudah kenyang kuamati itu lalu kuraih cepat. Ku susun kembali warnanya agar tepat disamping kuning cokelat.
Kibasan yang ketiga sempat membuat cuilan seluruhnya berwarna terang. Warnanya itu seperti mentari menyusup mata yang tak berkedip menusuk jari-jari kakiku. Warnanya putih benderang menyilaukan bergeliat-geliat. Cuilan itu melompat-lompat hendak menerobos genggamanku. Kurasa itu cuilan asa dan harapan yang berlarian dan sempat kewalahan ku menangkapnya. Tapi sudah dapat ku raih dan langsung kutempelkan kembali sebelum Ia sempat ingin melarikan diri dari jari-jariku lagi.
Sisa cuilan terakhir tidak juga mau terlepas dan jatuh ketanah. Kukibaskan berkali-kali dan lagi, tetap juga tertempel di kaki. Apa itu, keinginan rasa untuk mengeletek dan merobeknya supaya cungkilan itu mau lepas dan bsia kulihat warna didalamnya sempat membuatku lelah setengah mati. Aku hanya ingin tau warnanya. Aku tak tahu itu apa. Kutarik napas dalam dan kutatap dengan sabar. Aku menyerah. Namun tiba-tiba cungkilan itu terlepas perlahan dari kulit kakiku dan jatuh ringan sedikit melayang-layang sebelum akhirnya sampai ke tanah. Oh, ternyata warnanya biru muda, atau mungkin merah muda, atau pink. Aku tak bisa dengan pasti menduga itu percampuran warna apa. Yang kutahu cungkilan itu begitu indah. Kubalikkan cungkilan itu dan tepat di bagian belakangnya terdapat wajah seorang wanita berusia setengah abad yang tersenyum bahagia. Kurasa itu ibuku. Kuamati lebih dalam lagi, dan ada sesuatu yang menggelitik benakku. Rambut wanita disitu panjang melebihi bahu, sedangkan seingatku ibu tak pernah membiarkan rambutnya panjang melebihi telinga. Aku tergugu dan lama terdiam. Ku jadi tak tahu siapa wanita itu, hanya ada perasaan nyaman dan bahagia disitu.
Senja hampir menyapa di pesisir pantai putih yang kususuri seharian ini. Burung liar bersahut-sahutan memanggil kawannya. Aliran air pantai disertai pasir berlarian menghampiri sebelum akhirnya menabrak sela-sela jari kaki. Helaian rambut yang panjang melebihi bahu tersambar-sambar angin, sang angin yang juga berlarian mengejar langkah-langkah kakiku.
...dan serpih-serpihannya pun ikut tersenyum berjalan bersama langkahku..
Langganan:
Postingan (Atom)