Di kantor saya ada ibu hamil. Ya, itu sebutan dari saya dan teman-teman yang lain yang ditujukan kepada seorang cewek berumur 23 tahun, beberapa tahun lebih muda dari saya tepatnya.Wah, jadi ketahuan identitas umurnya. Sekarang ini ia sedang berbadan dua. Terkadang saat iseng kami serempak memanggilnya si ‘Ibu Hamil’, karena ia satu-satunya wanita di kantor yang tengah mengandung hampir setengah jalan. Maksudnya hampir menuju lima bulan, ya iya setengah jalan. Hobinya bisa dibilang unik: datang agak siang, ngumpul di ruangan saya, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketiwi dan sukanya duduk tepat di depan saya.
Ceritanya banyak, hampir tiada hari tanpa cerita. Kami, berempat dengan teman seruangan saya, selalu mendengarkan ia bercerita dari mulai cerita jabang bayinya, suaminya, keluarganya, mertuanya, bahkan makanan kesukaan. Tentunya, ia punya segudang cerita yang baru setiap hari. Mau tidak mau sayapun pasti mendengarnya, ya iyalah lah wong duduk selalu di depan meja saya yang kebetulan ada kursi kosong disitu, dan tidak enak kalau tidak ikutan nimbrung juga atau setidaknya sekedar mengomentari, menimpali, juga menambah-nambahi ceritanya dengan kata-kata yang sering terlontar dari mulut seperti: 'oh ya', 'masa siy', 'koq bisa gitu ya', 'ya ampun', dan lain-lainnya yang terpikirkan oleh saya dengan mata yang tetap menuju ke depan, ke monitor komputer saya tentu saja.
Pertama-tama lontaran seperti itu hanya sekedar untuk membuat hatinya senang setiap hari karena kata orang tua, pamali kalau membuat seorang wanita yang sedang hamil itu sedih. Tidak boleh. Big NO. Tapi lama kelamaan, keengganan saya mengikuti alur ceritanya yang bisa seharian, atau dua hari dua malam terus menerus kalau diukur panjang durasinya itu spontan berubah menjadi ketertarikan. Saya tak tahu pasti, mengapa semakin hari bertambah saya jadi semakin tertarik dengan cerita-cerita yang dilemparnya. Cerita tentang impiannya terhadap si jabang bayi dan keluarga kecil itu. Semakin hari saya semakin tertarik dan menyukai berbagai versi cerita menarik, yang kalau disusun sudah bisa jadi satu buku itu. Juga sayapun tak tahu pasti sejak kapan saya menjadi kecanduan menunggu cerita selanjutnya di pagi hari hingga petang itu. Cerita tentang semua hal yang dulu saya tak mau tahu itu kini menjadi suatu yang ingin saya dengarkan dan ketahui sekarang bersama teman-teman.
Mengapa tiba-tiba saya membayangkan diri ini menjelma menjadi dirinya. Membayangkan tengah berbadan dua dan tengah menikmati masa-masa indah tahun-tahun pertama pernikahan. Dan juga masa indah penantian sang buah hati. Apakah saya sudah gila? Apakah saya sedang berimajinasi? Tapi mengapa bayangan itu mampu memberi sensasi indah. Ataukah saya mungkin hanya mengharapkan suatu yang berbeda dalam rutinitas hidup yang saat ini terlihat semakin membosankan.
Terkadang saya geli sendiri, karena setelah semua ini, saya merasa sudah mengetahui atau setidaknya jadi tahu kalau USG itu dilakukan setelah sang bayi genap berusia lima bulan atau lebih. Tahu kalau sang ibu pantang bermarah-marah atau membenci orang lain kalau tidak mau anaknya nanti berperilaku atau mirip dengan tokoh yang ia benci dulu. Tahu kalau baju bayi harus dibeli saat sudah lahir bayinya. Tahu kalau ada acara tujuh bulanan untuk sang ibu dan sang jabang bayi. Tahu kalau air kelapa itu baik ,bagus untuk janin. Tahu kalau musik klasik baik untuk pertumbuhan janin, dan tahu semua hal yang berhubungan dengan kehamilan dan segala tetek-bengeknya. “ dewasa sebelum waktunya’, kata teman-teman saya bilang.
Tapi mau bagaimana lagi, lah wong si pencerita selalu ada setiap hari di depan saya dan menceritakan hal-hal itu kepada saya dan otomatis saya juga jadi ikut mendengarkan dan otomatis terekam di otak saya.
Tapi sejujurnya saya senang dan tidak menolak apapun mengenainya dan menyimpan diotak saya. Mengapa? Saya juga tidak tahu. Sensasi atau sekedar apalah itu. Sepertinya kok ya enak seperti teman saya yang sekarang menajdi selalu diperhatikan oleh sekitarnya. Selain perutnya yang kian membuncit dan hobinya yang selalu mengusap-usap perut tanpa sadar. Terkadang sayapun juga ketularan. Ketularan jadi suka mengusap-usap perut sendiri saat setelah makan. Apa mungkin itu karena sakit kekenyangan atau karena sekedar masuk angin hingga jadi sakit perut.
Tapi untuk mengalami itu, mengalaminya sendiri, mungkin saya masih belum berani. Ya jelas, belum berani. Lah wong, secara saya masih single dan pun masih belum terikat oleh yang namanya pernikahan. Pamali kata orang sunda bilang. Begitupun kata orang tua. ora ilok.
Sisi kecil saya sendiripun rasanya masih takut bila dihadapkan kenyataan untuk bersiap meregang nyawa, antara hidup dan mati. Mengerikan.Terutama saat teman saya meminta pendapat :”Enak yang mana, melahirkan normal atau cesar?” wuiih kalau untuk yang satu ini sempat membuat saya merinding ketakutan setengah mati. Tapi kemudian sayapun menjawab pertanyaan itu dengan ekspresi cool dan sok berani:” ya, pilih yang normal saja lah.” Mata saya tak berani menatapnya. Berpura-pura menatap computer supaya tidak ketahuan bohongnya. Atau ketakutannya saya?
Dalam hati berkata kalau bisa mah tidak perlu lah rasanya melahirkan dengan proses separah itu. Sejujurnya saya takut juga membayangkan keduanya. Apalagi untuk mengalaminya. Hiiii….takuuuut…
Ps: story from reality
Inspired by my friend Zi
Ceritanya banyak, hampir tiada hari tanpa cerita. Kami, berempat dengan teman seruangan saya, selalu mendengarkan ia bercerita dari mulai cerita jabang bayinya, suaminya, keluarganya, mertuanya, bahkan makanan kesukaan. Tentunya, ia punya segudang cerita yang baru setiap hari. Mau tidak mau sayapun pasti mendengarnya, ya iyalah lah wong duduk selalu di depan meja saya yang kebetulan ada kursi kosong disitu, dan tidak enak kalau tidak ikutan nimbrung juga atau setidaknya sekedar mengomentari, menimpali, juga menambah-nambahi ceritanya dengan kata-kata yang sering terlontar dari mulut seperti: 'oh ya', 'masa siy', 'koq bisa gitu ya', 'ya ampun', dan lain-lainnya yang terpikirkan oleh saya dengan mata yang tetap menuju ke depan, ke monitor komputer saya tentu saja.
Pertama-tama lontaran seperti itu hanya sekedar untuk membuat hatinya senang setiap hari karena kata orang tua, pamali kalau membuat seorang wanita yang sedang hamil itu sedih. Tidak boleh. Big NO. Tapi lama kelamaan, keengganan saya mengikuti alur ceritanya yang bisa seharian, atau dua hari dua malam terus menerus kalau diukur panjang durasinya itu spontan berubah menjadi ketertarikan. Saya tak tahu pasti, mengapa semakin hari bertambah saya jadi semakin tertarik dengan cerita-cerita yang dilemparnya. Cerita tentang impiannya terhadap si jabang bayi dan keluarga kecil itu. Semakin hari saya semakin tertarik dan menyukai berbagai versi cerita menarik, yang kalau disusun sudah bisa jadi satu buku itu. Juga sayapun tak tahu pasti sejak kapan saya menjadi kecanduan menunggu cerita selanjutnya di pagi hari hingga petang itu. Cerita tentang semua hal yang dulu saya tak mau tahu itu kini menjadi suatu yang ingin saya dengarkan dan ketahui sekarang bersama teman-teman.
Mengapa tiba-tiba saya membayangkan diri ini menjelma menjadi dirinya. Membayangkan tengah berbadan dua dan tengah menikmati masa-masa indah tahun-tahun pertama pernikahan. Dan juga masa indah penantian sang buah hati. Apakah saya sudah gila? Apakah saya sedang berimajinasi? Tapi mengapa bayangan itu mampu memberi sensasi indah. Ataukah saya mungkin hanya mengharapkan suatu yang berbeda dalam rutinitas hidup yang saat ini terlihat semakin membosankan.
Terkadang saya geli sendiri, karena setelah semua ini, saya merasa sudah mengetahui atau setidaknya jadi tahu kalau USG itu dilakukan setelah sang bayi genap berusia lima bulan atau lebih. Tahu kalau sang ibu pantang bermarah-marah atau membenci orang lain kalau tidak mau anaknya nanti berperilaku atau mirip dengan tokoh yang ia benci dulu. Tahu kalau baju bayi harus dibeli saat sudah lahir bayinya. Tahu kalau ada acara tujuh bulanan untuk sang ibu dan sang jabang bayi. Tahu kalau air kelapa itu baik ,bagus untuk janin. Tahu kalau musik klasik baik untuk pertumbuhan janin, dan tahu semua hal yang berhubungan dengan kehamilan dan segala tetek-bengeknya. “ dewasa sebelum waktunya’, kata teman-teman saya bilang.
Tapi mau bagaimana lagi, lah wong si pencerita selalu ada setiap hari di depan saya dan menceritakan hal-hal itu kepada saya dan otomatis saya juga jadi ikut mendengarkan dan otomatis terekam di otak saya.
Tapi sejujurnya saya senang dan tidak menolak apapun mengenainya dan menyimpan diotak saya. Mengapa? Saya juga tidak tahu. Sensasi atau sekedar apalah itu. Sepertinya kok ya enak seperti teman saya yang sekarang menajdi selalu diperhatikan oleh sekitarnya. Selain perutnya yang kian membuncit dan hobinya yang selalu mengusap-usap perut tanpa sadar. Terkadang sayapun juga ketularan. Ketularan jadi suka mengusap-usap perut sendiri saat setelah makan. Apa mungkin itu karena sakit kekenyangan atau karena sekedar masuk angin hingga jadi sakit perut.
Tapi untuk mengalami itu, mengalaminya sendiri, mungkin saya masih belum berani. Ya jelas, belum berani. Lah wong, secara saya masih single dan pun masih belum terikat oleh yang namanya pernikahan. Pamali kata orang sunda bilang. Begitupun kata orang tua. ora ilok.
Sisi kecil saya sendiripun rasanya masih takut bila dihadapkan kenyataan untuk bersiap meregang nyawa, antara hidup dan mati. Mengerikan.Terutama saat teman saya meminta pendapat :”Enak yang mana, melahirkan normal atau cesar?” wuiih kalau untuk yang satu ini sempat membuat saya merinding ketakutan setengah mati. Tapi kemudian sayapun menjawab pertanyaan itu dengan ekspresi cool dan sok berani:” ya, pilih yang normal saja lah.” Mata saya tak berani menatapnya. Berpura-pura menatap computer supaya tidak ketahuan bohongnya. Atau ketakutannya saya?
Dalam hati berkata kalau bisa mah tidak perlu lah rasanya melahirkan dengan proses separah itu. Sejujurnya saya takut juga membayangkan keduanya. Apalagi untuk mengalaminya. Hiiii….takuuuut…
Ps: story from reality
Inspired by my friend Zi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar