Rabu, 27 Juni 2007

6 Hari menjadi Vampir


Sudah 6 hari saya menjadi vampir. Teman-teman kantor saya hanya menggeleng-geleng kepala saja saat saya bilang spt itu. Walau ada yg berempati, terutama teman kantor yg perempuan (biasanya perempuan empatinya lbh besar). Kalau teman kantor yg laki-laki merespon saya cuma dengan tertawa dan tersenyum kecil saat saya bilang sudah 6 hari saya jadi vampir.Bahkan ada yg bilang, kenapa gak selamanya aja jadi vampir? jengkel sekali saya mendengarnya. Tapi saya diam saja. Bersabar. Karena jujur saya sudah tahu bakalan seperti apa rekasi mereka. Memang agak gokil, error, gila. Bukannya rasa empati yg saya dapat tapi malah rasa penghinaan (lah wong, mereka malah tertawa) dan sedih hati. Tapi sejujurnya saya berkata jujur. Sudah beberapa hari ini saya menjadi vampir.

Lebih tepatnya setelah saat peristiwa terbakarnya gardu listrik besar setiabudi yg menghubungkan semua jaringan listrik dan gardu-gardu kecil lainnya di daerah sekitar. Bagaimana tidak, Peristiwa itu menjadi berita besar di media elektronika dan koran. Ditambah lagi saat gardu listrik kecil di dekat tempat tinggal saya pun ikutan terbakar. Tepatnya meledak dari bawah tanah dan menghanguskan bangunan dan seluruh objek yg ada diatas permukaan tanahnya. Ada rasa deg-degan bercampur heran. Kok bisa-bisanya kabel listrik segede ular anakonda yg tertanam di bawah tanah ikut-ikutan terbakar dan menghancurkan toko diatasnya. Warteg, sebuah motor bebek dan gerobak buah adalah objek yg ada di atasnya. Lalu hasilnya, pasti anda sudah dapat menduganya. Hancur berantakan. Tak hanya itu, bahkan seluruh isi warteg alias warung tegal itupun berhamburan keluar. Gosipnya sampai di berita. Beritanya pun tersiar kemana-mana. Tempe, tahu goreng, ayam goreng, ikan goreng juga ikut beterbangan dan berhamburan keluar, jatuh menempel ke sana-sini. ironis? sedikit. Sesudahnya saya hanya bisa membayangkan dan teman sayapun sempat tertawa kecil saat membaca di berita ada ayam goreng terbang.:)

Yang menjadi tragis adalah saat diberitakan ada dua orang yg turut menjadi korban kemurkaan kabel anakonda itu. Itu tidak lain tidak bukan adalah penjual buah yg sering memangkalkan gerobak satu-satunya tepat di depan warteg naas itu. Ternyata buah-buahan yg biasanya tersusun rapi diatas gerobak itu ikut hangus menjadi berwarna abu-abu seluruhnya akibat tertutup debu dan abu dari kebakaran singkat. Malangnya lagi itu adalah buah semangka, pepaya dan nanas, buah-buahan yg selama ini menjadi buah favorit saya.

Saat kejadian kebakaran singkat itu, saya sedang ada di kamr mandi. Selama beberapa menit sebelum kemudian lampu mati dan ruang kecil berukuran 2 kali 2 itu menjadi gelap gulita. Yang terdengar hanya gemericik air dan saya yg sedang duduk manis. Tadinya saya kira ada teman saya yg jail mematikan lampu km. mandi. Saya cuek saja. Tapi setelah beberapa lama, kok tidak terdengar suara teman saya juga. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dengan handuk yg menutup seadanya, mencoba meraih tombol on off lampu. Klik..klik..tidak ada yg menyala. Akhirnya saya pasrah juga sembari terus melanjutkan aktivitas yg tertunda.

Saat-saat saya menjadi vampir pun telah tiba. Saat saya mengira mati lampu itu hanya memakan waktu sesaat, ternyata dugaan saya dan sejumlah (puluhan) orang di daerah itu salah besar. Kabel anakonda yg tebakar dan meledak itu telah membuat kehidupan saya dan hampir seluruh manusia yg hidup dan tinggal disekitar itu menjadi berubah total. Saya harus berlari, berkejar-kejaran dengan matahari untuk melakukan akitivitas hidup saya. Selebihnya kehidupan saya ibarat seorang vampir yang melakukan apapun dalam kegelapan. untungnya tidak untuk memangsa manusia lain. Tapi cukuplah untuk bisa dikatakan vampir, saat saya berkutat di dalam kamar untuk berganti baju, merapikan kamar, menyapu kamar (gak tahu apakah sudah bersih atau blm), memasukkan baju, melipat baju(tidak tahu lipatannya berbentuk spt apa), membaca buku (walau pakai lilin kecil/ bantuan senter), bahkan untuk menyisir rambut dan merias diripun selalu dalam kegelapan(walaupun akhirnya selalu celemongan/ bedak yg ketebelan). Semua terasa aneh, janggal. Kadang muncul ketakutan dan kepanikan saat mendadak muncul bayangan hitam besar di dinding kamar yg ternyata adalah bayangan saya sendiri. Atau juga kadang saya jadi membayangkan suster ngesot atau film horor lentera merah, jika kemana-mana membawa lilin atau lampu teplok kecil.

Hari-hari sayapun menjadi penuh dengan kegelapan. Pernah disatu hari sehabis pulang kantor, saya terlalu asik mengobrol dengan teman hingga lupa kalau sesaat lagi gelap datang dan sy tidak memiliki cadangan lilin. Akhirnya saya harus rela untuk mandi tanpa penerangan apapun, walaupun air masih menyala. Tapi untungnya saya masih tahu letak bagian2 tubuh mana yg harus dan yg tidak perlu untuk di bersihkan.:)Acara mandipun berubah menjadi acara mandi bebek. Masuk km. mandi, keluar lagi setelah bbrp menit. Betul-betul ritual mandi yg paling singkat!

Teman-teman sayapun sudah tidak heran kalau tiba-tiba ada suara tertawa, canda, gurauan tanpa terlihat siapapun dari luar karena mungkin saja itu saya sedang berbicara lwt telpon malam-malam dgn tmn sy di dalam kamar yg juga gelap. Sepertinya fobia gelap yg dlu sempat menghinggapi sayapun lambat laun hilang. Kalau dulu saya selalu panik saat mati lampu, kini saya justru merasa tidak ada bedanya antara malam hari dengan mati lampu. Bingung kan?. Intinya sekarang saya sudah terbiasa hidup di gelap-gelap, mungkin seperti tikus yg hidup di lorong gelap, atau seperti vampir yg berkelana sendirian di gelap malam. Asal jangan seperti kupu2 malam saja.:)Wah, kalo yg satu ini sy pasti keberatan!
Untungnya lagi pikiran saya pun tidak ikut-ikutan menjadi gelap, walaupun sempat saya terkena flu berat akibat tidur beramai-ramai di lantai saat hari I gelap melanda. Walaupun kemudian saya menjadi terbiasa dengan situasi ini, tapi sempat beberapa teman saya
mbuka kamar di hotel berbintang sekian saat hari pertama itu , yah tentu saja beramai-ramai spy iurannya bisa semakin kecil.

6 Hari (mungkin lebih) saya bisa menjadi vampir. Tergantung seberapa tahan saya menghadapi ini. Sempat saudara saya menelpon keheranan
kok bisa-bisanya saya bertahan di situ dengan situasi gelap selama berhari-hari. Alasan saya singkat saja, karena saya harus tetap masuk kantor. Situasi kantorpun tidak banyak berubah. Tadinya saya berharap kantor juga ikut mati lampu agar saya bisa libur panjang akibat accident ini. Eh, ternyata ada si genset yg slalu menjadi andalan gedung-gedung perkantoran di Jakarta. Jadinya, niatan saya untuk meliburkan diri menjadi sia-sia karena terbukti kantor saya selalu nyala terang benderang di pagi siang dan malam. Tidak ada alasan lagi untuk tidak masuk. Fiuuh...


Minggu, 24 Juni 2007

Mata kodok, hidung betet


'Mbak, kemarin aku datang ke pernikahan sodaranya Rino..'
'Oh, ya. Wah hebat kamu. Trus.., trus..gimana..?'

tanya Wulan penasaran sembari menarik-narik helaian rambut dengan 'catokan'. Jam sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Seharusnya saat ini waktu saya untuk siap membuka file-file dokumen kantor. Siap di depan komputer, dengan kertas ini-itu yg berisi runtutan angka dan tulisan nama, alamat, no tlp dan konfigurasi persentase nominal angka dari jutaan hingga milyaran. TApi nyatanya, kehadiran dua mahluk (teman saya) yg kdatangannya selalu dipenuhi dgn cerita ini-itu membuat saya urung membuka dokumen yg seharusnya lbh penting. Tangan saya tetap berhenti di tulisan 'location click here'. Telingapun langsung menangkap sinyal bahwa ada yg lebih menarik untuk di dengar.

'Iya, mbak. Makasih gaun pestanya. Aku jadi pusat perhatian, mbak'.
'Oya?!' Trus, gimana Rino? Kamu ktemu gak? Trus, dia nyapa kamu? Trus, dateng ma siapa?'
'Ih, pertanyaannya banyak bener mbak Wulan ini. Satu persatu dunk. Aku dateng ma nyokap doang kok. Ketemu Rino juga tapi dia sombong gitu dech, mungkin karena ada si Dwi'.
'Hmm... Bukan kamu Non. Aku tanya mantanmu Rino itu dateng ma sapa?' 'Oooh, dia..hehehe. Dia dateng ya ama Dwi lah, pacarnya. Juga ortunya. Ortunya masih ramah, mbak. Masih baek bgt ma aku'.
'Udah lah, Non. Relain aja. Emang bukan jodohmu kalee'. ujar temanku itu santai.


Saya masih berkutat dengan muka menatap ke komputer sebelum akhirnya 'sense of hearing' saya berkelana ke pembicaraan mereka yg tepat bersumber dari belakang kubikel saya. Langsung saja indera saya menangkap adanya hal yg lebih menarik ketimbang dokumen atau kertas meja saya dan akhirnya patah juga keinginan saya meneruskan filing dokumen.

'Iya mungkin benar, mbak. Lagian aku sudah ikhlasin kok. Hanya saja satu yg aku gak rela...'

Sesegera saya berdiri dan berbalik badan. Wulan menatap saya sambil melongo. Saya pun demikian tak sabar menanti kelanjutannya.

'...aku rela kalo Rino bukan jodoh aku, mbak.
Aku rela dia berjodoh dengan cewek lain. Asal bukan Dwi'.


Seketika alat catok yg dari tadi dipegang oleh Wulan dengan sebelah tangan lain yg memegang rambut terlepas juga. Kami berdua melongo. Semakin rapat jarak saya menempelkan diri ke kaca kubikel, mencoba melongok ke kubikel sebelah saya. Dua mahluk itu tidak kaget dgn keberadaan saya yg tiba-tiba sudah nongol dan berada ditengah pembicaraan mereka.

'Loh, memang kenapa siy Non. Kok kyknya kamu kesel bgt dgn Dwi?'
saya pun akhirnya berbicara juga mencoba mengikuti alur cerita. Walau sy sendiripun blm kenal yg namanya Rino, Dwi dan lainnya.

'Tau ga siy, mbak. Dia itu punya mata kodok. Lagian, mbak hidungnya itu loh..emang mancung siiy,tapi hidungnya betet bgt'. Loh???

Sampai disini pikiran saya dibawa jauh berpikir untuk memahami konteks dari sikap arogansinya. Adalah hal yg lumrah jika saya berkesimpulan kalau hubungan masa lalunya yg telah mencapai titik 'selesai' masih menyisakan bekas mendalam dan rasa tidak terima menghadapi kenyataan. Mungkin juga disebabkan 'pihak orang ketiga' yg menjadikan hubungan yg telah terjalin setahun penuh itu over, selesai, finished. Bukan hal yg extraordinary karena semua manusia mengalami suatu siklus kehidupan yg bisa berubah-ubah tak menentu. Istilah singkatnya, semua orang juga pernah putus cinta kok. Saya juga, malahan sering.

Lalu adakah hubungan dengan ketidaksukaan terhadap fisik seseorang?
Jawabannya mungkin iya, mungkin tidak. Tetapi menurut saya itu semata-mata lebih kepada sugesti atau mitos.

Saya jadi teringat wejangan bapak kost. Info: Bapak kost saya pernah (skalanya sering)memberi wejangan kepada saya yg merupakan salah satu anak kost yg (teman sy sering bilang)yg juga adalah anak kost kesayangan. Bgmn tidak, Bapak kost saya yg sdh berumur 50 tahunan dan campuran betawi-chinese itu bisa dibilang sangat baik dan memperhatikan anak-anak yg menyewa kostnya. Jika salah satu dari kami sakit, beliau tidak segan-segan memberikan salah satu obat hasil penelusurannya dari apotek ke apotek ( dulu dia sempat ingin menjadi dokter) dan di berikan kepada kami.Salah satunya adalah kepada saya yg rutin bersin-bersin dan flu di kala pagi. Dan tentu saja saya tidak keberatan menjadi objek percobaan obat-obatan racikan atau surveynya di apotek seluruh jakarta, karena jujur saja saya termasuk org yg sulit ke dokter atau untuk sekedar ke apotek membeli obat. Disamping malas untuk mengeluarkan uang untuk berobat (ini salah satu kejelekan saya), saya juga enggan bepergian keluar kamar jika sedang sakit. Akhirnya bapak kost sy yg rajin memberikan obat-obatannya untuk kesembuhan saya. Obatnya manjur juga lho, bahkan teman kantor sy juga jadi ikut-ikutan memakai obat itu.

Okey, kembali ke wejangan bapak kost. Beliau suatu hari memberi wejangan bijak versinya kepada saya. Wejangan ini tidak lain dan tidak bukan adalah seputar pencarian jodoh yg sampai sekarang mungkin masih menjadi tanda tanya besar di hidup saya.
Beliau berpesan kalau mencari jodoh yg baik (baca: cowok) selain dilihat dari kepribadiannya juga harus dilihat dari penampilannya. Loh, kok bisa? Saya sampai sekarang juga masih belum begitu memahami. Tapi mitos yg mendasar kuat terpatri di benak dan pikiran seseorang mampu membuat orang tersebut melakukan dan menurutinya. Dan itu sepertinya terbukti. Beliau berpesan bahwa saya haruslah mencari jodoh yg berbadan tinggi besar, tegap. itu sih sebenarnya memang kriteria saya.

Alasannya lucu dan tidak masuk akal, bapak kost saya (yg kebetulan juga tinggi besar) berkeyakinan jika pria bertubuh sebaliknya itu mempunyai beragam keburukan dan kejelekan. Bahkan beberapa teman saya juga mengasumsikan tipe tsb dgn licik, egois, curang, tidak mau berkorban, suka menang sendiri, tidak bisa menjaga, de el el. Teman saya begitu yakin, tapi saya begitu bingung. Darimana datangnya penelitian spt ini?
Saya juga tidak begitu tahu. Tapi bisa dibayangkan jika semua mahluk di bumi ini berasumsi dan berkeyakinan sama, maka alangkah malangnya nasib para pemuda bertubuh pendek dan kecil karena tidak akan diperhatikan bahkan dilirik oleh lawan jenis pujaannya.

Lalu apa hubungannya dengan mata kodok dan hidung betet?

Ternyata untuk sebagian masyarakat, mitos ini begitu ampuh hingga mematahkan mitos terdahulunya, si cantik dan si buruk rupa atau seperti di film Shrek dimana mengandung nilai moral bahwa kecantikan tidak hanya melulu datang dari wajah tapi dari hati.Ternyata mitos inner beauty terdobrak dengan adanya versi mata kodok dan hidung betet versi teman saya ini. Definisi mata kodok yaitu bola mata besar, seperti kelihatan hampir mau copot (kata teman saya) atau istilah lainnya bola mata yg mirip spt matanya kodok, adalah identik dgn sifat atau tabiat kelicikan, ketamakan, segala bentuk ketidakbaikkan. Darimana mitos ini ada, saya sendiri juga tidak tahu. Bahkan saya baru mengetahuinya dari obrolan tadi pagi dgn dua mahluk unik yg hobi bercerita itu.

Sesungguhnya, saya tidak begitu meyakini dan mempercayai hal-hal tersebut. Pada dasarnya Mitos adalah suatu hal yg tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Yang menjadi bentuk keheranan saya adalah, bagaimana mungkin mitos ganjil ini bisa tumbuh dan berkembang serta di percayai oleh sebagian masyarakat di era globalisasi ini. Salah satu faktanya adalah teman saya yg bisa dibilang telah mengenyam pendidikan tinggi pun msh saja ada yg percaya akan hal2 spt ini. Tapi sayapun tidak mungkin dapat menyalahkan jika hal ini benar-benar ada dan dpt diterima (mungkin yg tdk bisa menerima adalah ya si mata kodok itu tadi) di kalangan berpendidikan sekalipun. Mitos ini begitu luar biasa dahsyatnya. Begitupun dengan hidung betet, yaitu definisi untuk ukuran hidung yg mancung dan hampir menyerupai salah satu jenis burung tropis ini betul2 membuat saya menggeleng2 keheranan. Tapi sayapun tidak membenarkan atau menyalahkan mitos ini. Karena jujur saja saya belum sempat mengalaminya. Tapi sesungguhnya mitos-mitos ini begitu menarik dan sempat membuat saya tertawa geli terlebih saat mendengar bahwa dua teman saya pernah mengalami hubungan yg tidak harmonis dikarenakan gangguan pihak ketiga yg kebetulan dua-duanya sama-sama bermata kodok dan berhidung betet. :)



















Kamis, 21 Juni 2007

Tragedi Ruang Kaca


Hampir genap tiga minggu ruang kantor saya di perbaiki. Tepatnya adalah dipindah semua meja, kaca-kaca, bangku, komputer, filling kabinet, dan semua kabel telpon, listrik dan jaringan internet yg biasanya tertata rapi dan saling tersambung indah di bawah meja saya. Mengapa dipindah? Saya juga kurang begitu paham alasannya. Tapi sebenarnya dari lubuk hati terdalam, saya agak menyayangkan pemindahan ini.

"Ruang kaca" (begitulah kebanyakan teman kantor menyebut ruangan saya yg bertembok kaca di setiap sisinya) saya sebetulnya sudah begitu nyaman. Ruangan kecil di dalam ruangan kantor. Jadi ibarat boneka bulat ayu dari Rusia (saya lupa namanya) yg ketika di buka maka akan ada boneka kecil lagi didalamnya, dan begitu seterusnya begitupun dengan ruangan saya. Bedanya, hanya ada satu ruangan kecil di dalam kantor yaitu ruangan saya. Ukurannya tidak terlalu kecil sih, hanya 7 x 5 meter saja. Tapi cukuplah untuk didatangi 3 sampai 4 orang teman saat makan siang dan sore hari menjelang pulang. Di saat-saat tertentu 'Ruang kaca' seketika menjadi suatu tempat yang enak untuk disinggahi.

Saat jam makan siang, biasanya 4 kawan perempuan saya meramaikan ruangan ini dengan membawa bekal lunch masing-masing. Tinggal memilih kursi kosong yg memang beberapa tersedia di situ dan mulai membentuk formasi setengah melingkar di depan meja saya dan mulai berbicara panjang lebar tentang hal-hal yg penting hingga yg tidak penting sama sekali. Curhat dan Chatting atau istilahnya' women's talk' adalah hidangan setiap hari di ruangan saya menjelang 'lunch time'. Saya pun toh tidak keberatan, walaupun terkadang topik yg disuguhkan benar2 tidak bisa membuat pengetahuan saya bertambah ( cerita selebritis yg menikah dengan si ini-itu, de el el yg semuanya bisa saya dapatkan sendiri di berita infotainment tv, apakah bisa membuat saya pintar ya..?) Tapi semuanya itu tidak mengurangi niat saya untuk tetap 'relax', enjoy the time dan kata teman saya yg lain bisa untuk 'killing the time' juga.

Kembali ke topik ruang kaca saya, sebenarnya saya dan teman-teman saya yg lain harus berterimakasih kepadanya. Tepatnya kepada 'ruang kaca'. Mengapa? karena ruangan itu telah berjasa besar dalam memberikan tempat untuk beristirahat sejenak tanpa harus diketahui dan ketahuan oleh siapapun. Loh, kok bisa? ya bisa lah. Begini, walaupun ruang saya itu di tembok dengan kaca di ke-empat sisinya, tetapi ini bukan sembarang kaca. Kaca ruang saya bukanlah kaca-kaca yg dipakai untuk kaca spion, kaca cermin atau kaca nako di rumah. Kaca kepunyaan ruangan saya itu terbuat dari kaca tebal yang tidak terlalu bening dan malahan agak buram kelihatannya. Dan yang penting adalah fungsinya. Fungsi dan kegunaan yg hanya saya dan segelintir orang yg biasa masuk ke ruang ini yg mengetahuinya. Mau tahu? Ternyata 4 kaca di ruang saya itu memiliki dua kekuatan; tembus pandang dan tidak tembus pandang. Nah, disini sayapun baru mengetahuinya saat suatu kejadian yg tidak direncanakan.

Suatu hari, teman wanita saya, sebut saja Wulan, ia selalu memakai celana jeans ke kantor. Hingga suatu hari, Wulan datang terlambat dan tidak ada waktu untuk berganti pakaian. Akhirnya Wulan meminta semua karyawan yg tadinya sedang bersantai-santai di ruang kaca saya (yang pria khususnya) untuk mengosongkan ruangan. Yang tinggal hanya dua orang, yaitu saya yg sedang sibuk mengecek email di komputer, dan seorang lagi wanita yg sedang asik bermake-up di depan cermin di samping saya. Tanpa ba-bi-bu, Wulan mengganti jeans dgn roknya itu dengan posisi tepat membelakangi kaca. Kami semua masih di kesibukan masing-masing sebelum akhirnya mendengar suara-suara dari luar. Seketika Susi (sebut saja demikian) masuk ke ruang kami (saat itu Wulan sudah selesai ) dgn tergesa dan sontak berteriak;
"Lan, wulan loe tadi ngapain sih?!" keliatan tau!"
suara Susi yg kencang membuat gak cuma Wulan tapi kami semua kaget dan panik.

"Enggak ah!" Ini kan buram."
"Kalo gak percaya, gue coba sekarang disini (didekat kaca) dan kalian semua cek diluar."

Kami bertiga serempak berjalan setengah berlari keluar ruangan, kecuali Susi.

Dan benarlah apa yg terjadi. Dari balik kaca luar jelas terlihat badan Susi dengan jelas beserta warna bajunya yg nyala terang dan bahkan bekas luka di belakang betisnya. Seketika kamipun pucat, tapi terlebih kepucatan dan kepanikan juga rasa malu jelas tergambar di raut Wulan, telebih saat seorang karyawan pria terlihat sedang duduk tidak jauh di dekat tempat kami berdiri. Wah, jangan-jangan dia lihat celananya Wulan. Pikiran itu tiba-tiba muncul. Tidak berapa lamapun, rasa empati terhadap Wulan berubah menjadi rasa lucu dan ingin tertawa (menertawai si korban lebih tepatnya) sambil bersyukur pada diri sendiri, untung bukan gue.

Lalu kenapa bisa dikatakan 'ruang kaca' bisa memberikan kontribusi pada kami? Alasannya sederhana. Akibat kejadian itu, kami mulai meneliti dengan seksama sisi mana yang bisa tembus pandang dan bagian mana yg tidak, supaya aman dan tepatnya spy tidak ada korban berjatuhan lagi. Akhirnya setelah beberapa hari, kami mengetahui bahwa beberapa fakta muncul perihal keuntungan dan sisi berbahaya dari 'ruang kaca' saya ini'.

Sisi bahayanya;

1. Berdasar pengalaman teman sejawat, jangan berganti baju terlalu dekat dengan ruang kaca. ( jarak kurang dari satu langkah dari kaca, dianggap masih bisa menampilkan lekuk tubuh).
2. Jangan berbicara terlalu keras. ( kalau ingin curhat atau bicara yg gak penting lbh baik di kurangi volumenya karena sisi kaca bisa memberi efek
kedengeran buat orang di luar ruangan, terutama kalau ada boss yg lewat).
3.Jangan pasang MP3 terlalu keras. (ini juga bisa berbahaya, karena bisa ketahuan kalo ternyata lagi denger musik2 aneh dan gak jelas). Bisa2 Boss teriak dari luar; "Woi! ini kantor! bukan tempat karaoke!"



Berdasarkan analisa beberapa hari, dan setelah di cek bekali-kali, maka disimpulkan bahwa, ruang kaca yg agak buram itu membuat pihak-pihak luar bisa melihat kedalam ruangan, jika object atau orang tsb dekat dengan sisi kaca. Tetapi sebaliknya, pihak luar tidak bisa melihat ke dalam ruang kaca dengan jelas bila interaksi orang yg di dalam berada di tengah ruangan atau tidak dekat dgn kaca. Hal-hal ini memberikan hal-hal positif sbb.

Sisi positif/ keuntungannya;

1. Kalau mau tidur, makan, cerita, acara bersantai tipe apapun bisa dilakukan di dalam ruang kaca. (itu selama boss tidak tiba2 amsuk loh, ya.)
2. Pihak dalam bisa mengamati siapa saja yg wara-wiri diluar ruangan kaca bahkan bisa tahu siapa saja yg mau keluar kantor atau masuk kantor, atau masuk ke ruang kaca (jarak hitungan beberapa detik).
3. Keuntungan no 2 bisa mengantisipasi saya juga teman2 untuk membangunkan teman lain yg sdg tidur, merapikan meja, menghentikan cerita gak penting, mematikan suara musik atau mp3 dan sesegera mungkin
menyibukkan diri, kalau2 ada boss yg tiba2 mau masuk ruangan.
4. Bisa makan, minum dan ngemil sepuasnya tanpa harus malu ketahuan pihak luar dan dinilai jelek dan merendahkan performance kerja bahkan reputasi.

Hal-hal yg kurang lebih kebanyakan ada di segi positifnya ini jelas membuat 'ruang kaca' begitu dinikmati dan disenangi. Ruangan saya pun menjadi begitu terkenal dan ramai oleh teman2 yg hendak melepas penat dan lelah. Terkadang agak mengganggu juga sih, terutama saat saya sedang begitu hectic dengan dokumen-dokumen dan urusan ini itu yg lumayan menyita perhatian. Kadang situasi sepi sangat saya inginkan karena harus berkonsentrasi mengerjakan tugas dari boss, tapi tetap saja situasi kanan-kiri menjelang lunch dan sore hari begitu so life. Sehingga sepi dan ketenangan menjadi barang berharga karena begitu langka.

Tapi bagaimanapun, ruang kaca telah memberi begitu banyak manfaat bagi saya dan rekan yg lain, hingga saya pun sangat bersedih saat suatu ketika tempat kami berteduh selama ini direnovasi dan dipindah. Segudang alasan berkelebat di otak saya dan kawan senasib sepenanggungan yg sempat mengalami nikmatnya di 'ruang kaca'. Alasan yg tidak jelas membuat saya bertanya-tanya, mungkinkah boss tahu perihal hobi, keisengan dan ulah kami selama ini ? Itukah alasan yg menjadi dasar perombakan ruang saya? Kalau benar itu jawabannya, betapa sedihnya. Dan sekarang saya harus merelakan ruang kaca di pugar dan dicabuti kaca-kacanya untuk kemudian diganti menjadi ruang tamu dengan sofa mewah dan empuk.

Duh, sedihnya... bye-bye my glass room..



















Senin, 11 Juni 2007

Flashback


"...In the middle you would feel tired and hopeless, but somehow at the end you would amazed on how far you've walked through these burdens and you're still alive..."

-putritidur-