Minggu, 24 Juni 2007

Mata kodok, hidung betet


'Mbak, kemarin aku datang ke pernikahan sodaranya Rino..'
'Oh, ya. Wah hebat kamu. Trus.., trus..gimana..?'

tanya Wulan penasaran sembari menarik-narik helaian rambut dengan 'catokan'. Jam sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Seharusnya saat ini waktu saya untuk siap membuka file-file dokumen kantor. Siap di depan komputer, dengan kertas ini-itu yg berisi runtutan angka dan tulisan nama, alamat, no tlp dan konfigurasi persentase nominal angka dari jutaan hingga milyaran. TApi nyatanya, kehadiran dua mahluk (teman saya) yg kdatangannya selalu dipenuhi dgn cerita ini-itu membuat saya urung membuka dokumen yg seharusnya lbh penting. Tangan saya tetap berhenti di tulisan 'location click here'. Telingapun langsung menangkap sinyal bahwa ada yg lebih menarik untuk di dengar.

'Iya, mbak. Makasih gaun pestanya. Aku jadi pusat perhatian, mbak'.
'Oya?!' Trus, gimana Rino? Kamu ktemu gak? Trus, dia nyapa kamu? Trus, dateng ma siapa?'
'Ih, pertanyaannya banyak bener mbak Wulan ini. Satu persatu dunk. Aku dateng ma nyokap doang kok. Ketemu Rino juga tapi dia sombong gitu dech, mungkin karena ada si Dwi'.
'Hmm... Bukan kamu Non. Aku tanya mantanmu Rino itu dateng ma sapa?' 'Oooh, dia..hehehe. Dia dateng ya ama Dwi lah, pacarnya. Juga ortunya. Ortunya masih ramah, mbak. Masih baek bgt ma aku'.
'Udah lah, Non. Relain aja. Emang bukan jodohmu kalee'. ujar temanku itu santai.


Saya masih berkutat dengan muka menatap ke komputer sebelum akhirnya 'sense of hearing' saya berkelana ke pembicaraan mereka yg tepat bersumber dari belakang kubikel saya. Langsung saja indera saya menangkap adanya hal yg lebih menarik ketimbang dokumen atau kertas meja saya dan akhirnya patah juga keinginan saya meneruskan filing dokumen.

'Iya mungkin benar, mbak. Lagian aku sudah ikhlasin kok. Hanya saja satu yg aku gak rela...'

Sesegera saya berdiri dan berbalik badan. Wulan menatap saya sambil melongo. Saya pun demikian tak sabar menanti kelanjutannya.

'...aku rela kalo Rino bukan jodoh aku, mbak.
Aku rela dia berjodoh dengan cewek lain. Asal bukan Dwi'.


Seketika alat catok yg dari tadi dipegang oleh Wulan dengan sebelah tangan lain yg memegang rambut terlepas juga. Kami berdua melongo. Semakin rapat jarak saya menempelkan diri ke kaca kubikel, mencoba melongok ke kubikel sebelah saya. Dua mahluk itu tidak kaget dgn keberadaan saya yg tiba-tiba sudah nongol dan berada ditengah pembicaraan mereka.

'Loh, memang kenapa siy Non. Kok kyknya kamu kesel bgt dgn Dwi?'
saya pun akhirnya berbicara juga mencoba mengikuti alur cerita. Walau sy sendiripun blm kenal yg namanya Rino, Dwi dan lainnya.

'Tau ga siy, mbak. Dia itu punya mata kodok. Lagian, mbak hidungnya itu loh..emang mancung siiy,tapi hidungnya betet bgt'. Loh???

Sampai disini pikiran saya dibawa jauh berpikir untuk memahami konteks dari sikap arogansinya. Adalah hal yg lumrah jika saya berkesimpulan kalau hubungan masa lalunya yg telah mencapai titik 'selesai' masih menyisakan bekas mendalam dan rasa tidak terima menghadapi kenyataan. Mungkin juga disebabkan 'pihak orang ketiga' yg menjadikan hubungan yg telah terjalin setahun penuh itu over, selesai, finished. Bukan hal yg extraordinary karena semua manusia mengalami suatu siklus kehidupan yg bisa berubah-ubah tak menentu. Istilah singkatnya, semua orang juga pernah putus cinta kok. Saya juga, malahan sering.

Lalu adakah hubungan dengan ketidaksukaan terhadap fisik seseorang?
Jawabannya mungkin iya, mungkin tidak. Tetapi menurut saya itu semata-mata lebih kepada sugesti atau mitos.

Saya jadi teringat wejangan bapak kost. Info: Bapak kost saya pernah (skalanya sering)memberi wejangan kepada saya yg merupakan salah satu anak kost yg (teman sy sering bilang)yg juga adalah anak kost kesayangan. Bgmn tidak, Bapak kost saya yg sdh berumur 50 tahunan dan campuran betawi-chinese itu bisa dibilang sangat baik dan memperhatikan anak-anak yg menyewa kostnya. Jika salah satu dari kami sakit, beliau tidak segan-segan memberikan salah satu obat hasil penelusurannya dari apotek ke apotek ( dulu dia sempat ingin menjadi dokter) dan di berikan kepada kami.Salah satunya adalah kepada saya yg rutin bersin-bersin dan flu di kala pagi. Dan tentu saja saya tidak keberatan menjadi objek percobaan obat-obatan racikan atau surveynya di apotek seluruh jakarta, karena jujur saja saya termasuk org yg sulit ke dokter atau untuk sekedar ke apotek membeli obat. Disamping malas untuk mengeluarkan uang untuk berobat (ini salah satu kejelekan saya), saya juga enggan bepergian keluar kamar jika sedang sakit. Akhirnya bapak kost sy yg rajin memberikan obat-obatannya untuk kesembuhan saya. Obatnya manjur juga lho, bahkan teman kantor sy juga jadi ikut-ikutan memakai obat itu.

Okey, kembali ke wejangan bapak kost. Beliau suatu hari memberi wejangan bijak versinya kepada saya. Wejangan ini tidak lain dan tidak bukan adalah seputar pencarian jodoh yg sampai sekarang mungkin masih menjadi tanda tanya besar di hidup saya.
Beliau berpesan kalau mencari jodoh yg baik (baca: cowok) selain dilihat dari kepribadiannya juga harus dilihat dari penampilannya. Loh, kok bisa? Saya sampai sekarang juga masih belum begitu memahami. Tapi mitos yg mendasar kuat terpatri di benak dan pikiran seseorang mampu membuat orang tersebut melakukan dan menurutinya. Dan itu sepertinya terbukti. Beliau berpesan bahwa saya haruslah mencari jodoh yg berbadan tinggi besar, tegap. itu sih sebenarnya memang kriteria saya.

Alasannya lucu dan tidak masuk akal, bapak kost saya (yg kebetulan juga tinggi besar) berkeyakinan jika pria bertubuh sebaliknya itu mempunyai beragam keburukan dan kejelekan. Bahkan beberapa teman saya juga mengasumsikan tipe tsb dgn licik, egois, curang, tidak mau berkorban, suka menang sendiri, tidak bisa menjaga, de el el. Teman saya begitu yakin, tapi saya begitu bingung. Darimana datangnya penelitian spt ini?
Saya juga tidak begitu tahu. Tapi bisa dibayangkan jika semua mahluk di bumi ini berasumsi dan berkeyakinan sama, maka alangkah malangnya nasib para pemuda bertubuh pendek dan kecil karena tidak akan diperhatikan bahkan dilirik oleh lawan jenis pujaannya.

Lalu apa hubungannya dengan mata kodok dan hidung betet?

Ternyata untuk sebagian masyarakat, mitos ini begitu ampuh hingga mematahkan mitos terdahulunya, si cantik dan si buruk rupa atau seperti di film Shrek dimana mengandung nilai moral bahwa kecantikan tidak hanya melulu datang dari wajah tapi dari hati.Ternyata mitos inner beauty terdobrak dengan adanya versi mata kodok dan hidung betet versi teman saya ini. Definisi mata kodok yaitu bola mata besar, seperti kelihatan hampir mau copot (kata teman saya) atau istilah lainnya bola mata yg mirip spt matanya kodok, adalah identik dgn sifat atau tabiat kelicikan, ketamakan, segala bentuk ketidakbaikkan. Darimana mitos ini ada, saya sendiri juga tidak tahu. Bahkan saya baru mengetahuinya dari obrolan tadi pagi dgn dua mahluk unik yg hobi bercerita itu.

Sesungguhnya, saya tidak begitu meyakini dan mempercayai hal-hal tersebut. Pada dasarnya Mitos adalah suatu hal yg tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Yang menjadi bentuk keheranan saya adalah, bagaimana mungkin mitos ganjil ini bisa tumbuh dan berkembang serta di percayai oleh sebagian masyarakat di era globalisasi ini. Salah satu faktanya adalah teman saya yg bisa dibilang telah mengenyam pendidikan tinggi pun msh saja ada yg percaya akan hal2 spt ini. Tapi sayapun tidak mungkin dapat menyalahkan jika hal ini benar-benar ada dan dpt diterima (mungkin yg tdk bisa menerima adalah ya si mata kodok itu tadi) di kalangan berpendidikan sekalipun. Mitos ini begitu luar biasa dahsyatnya. Begitupun dengan hidung betet, yaitu definisi untuk ukuran hidung yg mancung dan hampir menyerupai salah satu jenis burung tropis ini betul2 membuat saya menggeleng2 keheranan. Tapi sayapun tidak membenarkan atau menyalahkan mitos ini. Karena jujur saja saya belum sempat mengalaminya. Tapi sesungguhnya mitos-mitos ini begitu menarik dan sempat membuat saya tertawa geli terlebih saat mendengar bahwa dua teman saya pernah mengalami hubungan yg tidak harmonis dikarenakan gangguan pihak ketiga yg kebetulan dua-duanya sama-sama bermata kodok dan berhidung betet. :)



















2 komentar:

Helman Taofani mengatakan...

Judgement dari penampilan ngga mungkin enggak si yak. Ayah saya sempet bilang begitu juga soalnya. Tapi kalo ciri fisikal mengarah ke mentalitas, itu sih prejudis...hahaha. Kalo soal jodoh kan bisa ditelusuri dulu bener enggak-nya mental demikian sama ciri fisiknya lewat mekanisme penjajakan. Proses itu penting dalam berjodoh.

Just my 2 cents.

Eh, idung gw betet juga nih...huhuhuhu.

putritidur mengatakan...

haha.. trims 4 the komen.