Menilik sistem penggajian para pekerja di Indonesia ini menurut saya masih perlu banyak untuk diperbaiki dan ditingkatkan kualitas dan kapasitasnya. Bagaimana tidak? Di abad ke 21 ini, tepatnya di tahun ke 2007, Indonesia masih saja menerapkan beberapa perbedaan dalam hal nilai dan pembagian besaran gaji yang harus dibayarkan kepada para pekerja setiap saat, dilihat dari segi pekerjaan dan kuantitas serta mutu dari tiap posisi dan pekerjaan itu sendiri. Maksud saya disini adalah, adanya perbedaan yang mencolok /besar dalam hal-hal yang masih dinilai sensitif untuk dibicarakan dan masih dianggap personal, pribadi serta individu tsb.
Contoh paling bawah, yakni besaran nominal nilai uang yang dibayarkan untuk pekerja kelas paling bawah, yang hanya mencapai nilai kurang dari 500 ribu. Tipe pekerja yang menduduki level ini sangatlah banyak, yakni para pekerja dengan definisi job-desk yang bisa dibilang mempunyai kuantitas kerja tinggi, mengandalkan tenaga atau fisik ini. Contohnya sangat banyak, seperti pekerja rumahan, yakni pembantu rumah tangga, tukang cuci, pekerja bangunan, yakni kuli dan buruh bangunan, pekerja pabrik, baik perusahaan pabrik besar atau perusahaan industri rumahan, yakni buruh atau karyawan pabrik.
Walaupun saat ini telah dibuat sistem peningkatan/kenaikan upah dengan penyetaraan nominal yang diterima di tiap daerah, atau yg dikenal dengan penyetaraan upah minimum regional(UMR) tapi tetap saja, upah pokok/ basic/ dasar untuk suatu nominal yang diterima belum mencukupi standar kebutuhan untuk tiap individu masyarakat pada umumnya. Contohnya adalah UMR suatu daerah, untuk pekerja pabrik yang total besarnya mencapai 700 ribuan (dengan estimasi upah pokok:500rb, overtime, transport dll:200rb-an) ,tetaplah tidak mampu dipakai untuk mencukupi seluruh kebutuhan pekerja tsb. Terlebih lagi, jika si pekerja itu adalah seorang individu yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Dengan estimasi bahwa, harga sembako yang tiap tahun mencapai kenaikan sekian persen, (saat ini juga sedang terjadi kenaikan untuk produk susu di hampir seluruh Indonesia) hal ini tentu saja membuat nilai upah yang diperoleh menjadi tidak cukup karena nilai nominalnya pun menjadi berkurang sedikit demi sedikit. Situasi seperti ini tentu saja tidak hanya mempengaruhi satu faktor upah saja, tapi berimbas juga pada faktor-faktor penting lainnya seperti faktor menurunnya kualitas kesejahteraan individu, imbas ke gizi buruk, tingkat kecerdasan, dan faktor sosial lainnya.
Fenomena 'upah kecil' ini tentu saja kerap menjadi sorotan dan perhatian, baik diantara masyarakat luas, maupun di media cetak atau elektronik, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat pada umumnya untuk segera melakukan berbagai upaya untuk mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tapi apa yang tejadi? kenyataan memberikan bukti bahwa, situasi yang sama ini selalu berlanjut dari tahun ke tahun, masa ke masa, tanpa ada perubahan yang cukup signifikan untuk memperbaiki dan meningkatkan laju ekonomi dan menekan laju kemiskinan, yang saat ini malahan terlihat lebih cepat dibanding perekonomian dan stabilitas negara.
Berbicara tentang upah kecil, ternyata, hal ini tidak hanya di landa para pekerja kelas bawah saja. Kenyataan ini juga terjadi di hampir seluruh lapisan pekerja. Bahkan, yang lebih mengagetkan lagi adalah fakta bahwa para pekerja dengan sebutan "pahlawan tanpa tanda jasa' pun juga hampir seluruhnya mengalami dampak ini selama bertahun-tahun. Faktanya lagi, justru permasalahan ini baru menguak dan terbuka dua tahun belakangan ini. Fenomena ini cukup mengagetkan, karena selama ini masyarakat hanya menyadari dan melihat dari lapisan luarnya saja bahwa pribadi guru adalah pribadi yang cukup menyenangkan, pintar, berideologi tinggi, berpengetahuan luas, tanpa menyadari lapisan paling dalam bahwa setiap manusia (sosok inipun) juga perlu untuk memenuhi kelangsungan kebutuhan hidup mereka sendiri. Fakta bahwa gaji guru swasta yang memiliki pengalaman selama bertahun-tahun pun hanya di hargai dengan nominal tak lebih dari dua juta, dan guru yang termasuk pns yang malahan lebih rendah dari itu, membuat fenomena ini semakin menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang sosok yang dianggap bersahaja, berpengetahuan luas ini hanya dihargai dengan nominal yang bisa dibilang kecil? Padahal faktanya, sosok inilah satu-satunya sosok yang diharapkan dan diandalkan untuk mampu memberikan dan membagi ilmu untuk semua generasi penerus, putra-putri bangsa. Sungguh Ironis!
Berbicara lebih luas mengenai sistem penggajian dan upah, kita sekarang menengok situasi yang tak jauh beda dengan situasi diatas. Bedanya hanya tempat dan jenis pekerjaannya saja. Pekerja atau karyawan perkantoran juga sesungguhnya mengalami kasus yg hampir sama. Di hampir sebagian besar tempat perkantoran, menggunakan sistem outsourcing dalam penggajian karyawannya (karyawan tidak tetap/kontrak/blm permanen). Hal ini jelas menimbulkan ekses yg lumayan besar. Mengapa? karena jumlah nominal gaji /honor yang seharusnya bisa diberikan seluruhnya oleh perusahaan, ini malahan harus dipotong beberapa persen oleh pihak luar, atau pihak kedua, sebelum akhirnya, sisanya di berikan oleh pihak kedua (outsorced) ke karyawan atau pekerja yg bersangkutan. Suatu hal yang tidak perlu, terkesan bertele-tele serta jelas merugikan. Contohnya saja, misalkan jumlah nominal adalah 1,5 jt (dari perusahaan). Jika dipotong 1% saja oleh pihak outsorcing, maka pekerja hanya mendapatkan 1,4 jt saja tiap bulan. Pengurangan seratus ribu jelas sangat merugikan, karena dengan dana itu (jika tidak dipotong) maka, seharusnya bisa membantu mencukupi kebutuhan sebulan. Merugikan bukan?
Di sistem penggajian karyawan, kita juga mengenal level atau posisi jabatan. Intinya, semakin tinggi jabatannya, semakin besar juga nominal gaji yang didapatkan. Contohnya, seorang individu dengan level atau jabatan sebagai manager, tentu memiliki gaji berbeda dengan karyawan biasa, dengan jabatan 'hanya karyawan', entah itu di bagian administrasi, umum, atau yang lainnya. Tetap saja dinilai dengan nominal standard saja. Mungkin ada yang lebih, tergantung perusahaan, atau jenis pekerjaannya tapi standard pokoknya biasanya tidak mencapai nilai yg cukup signifikan.
Hal ini berbeda dengan karyawan yang berstatus marketing, yang biasanya bisa mencapai beberapa puluh juta karena faktor komisi yg diterimanya, atau istilahnya adalah bonus. Tapi biasanya siklusnya tidak setiap bulan, dan bersifat naik-turun. Tergantung dari tiap klien yang dihasilkannya. Jika karyawan itu tidak mampu menghasilkan klien barang satupun, maka bisa dipastikan individu itu akan kembali memperoleh gaji pokok yg kecil/basic yang standard saja. (biasanya marketing memiliki gaji pokok tiap bulan sama dengan karyawan biasa).
Dengan gaji yang nominalnya bisa dikatakan lebih kecil, status 'hanya karyawan biasa', biasanya memiliki beban kerja dan rincian pekerjaan (job desc. )yang luar biasa banyaknya. Tidak menutup kemungkinan, banyak juga perusahaan yang pada akhirnya merekrut segelintir orang untuk bisa melakukan tugas yang banyak sekali. (biasanya di bagian umum).
Lalu bagaimana dengan level atau posisi yang tinggi spt posisi managerial atau general manager? Nah, inilah yang menjadi pertanyaan dan kebingungan saya sampai sekarang. Dengan beban kerja yang tidak seberapa, individu-individu spt ini mendapatkan bermacam-macam fasilitas dari perusahaan. Mulai dari jasa supir yang siap antar jemput, mobil dinas, atau bahkan fasilitas mobil pribadi, fasilitas rumah, telepon, ongkos transportasi yg bs di riemburst, fasilitas perjalanan kesana-sini, dan lain sebagainya. Tentunya dengan Gaji yang luar biasa tingginya. Padahal jika diamati, jobdesc. nya pun tidak banyak, tidak overload, tidka memeras keringat, bisa dgn mudah masuk agak siang, melakukan aktivitas telpon, lobi sana-sini, acara jamuan makan siang, sore, malam dan selebihnya meeting saja.
Saya sempat dengan polosnya menanyakan hal ini kepada teman saya. Dan jawaban mereka hampir serupa semuanya. Individu-individu spt itu bekerja tidak mengandalkan tenaga atau fisik, tapi lebih menggunakan otak. Dan jika job description mereka tidak banyak, biasanya tanggung jawab mereka lah yang dituntut besar. Istilahnya, punya tanggung jawab besar dalam perkembangan dan kemajuan perusahaan secara langsung.
Ada juga perusahaan yang melihat latar belakang pengalaman dan juga tingkatan pendidikan sebagai tolak ukur penilaian kenaikan standard gaji dan posisi seseorang. Hal ini agak masuk akal, mengingat biasanya porsi tanggung jawab yang besar saja, tidaklah cukup tanpa disertai asupan pendidikan, pengalaman bekerja di bidang yang sesuai, dan informasi yang akurat serta pengetahuan global yang baik. Hal ini semata-mata dilakukan oleh perusahaan dalam memajukan perusahaan.
Akhir kata, apapun yang telah terjadi terutama di Indonesia, saya masih menilai bahwa Indonesia secara global masih perlu tindakan nyata untuk memajukan kesejahteraan semua individu yang merupakan warga negara Indonesia, agar kemerataan ekonomi dapat tercapai dan tidak ada lagi fenomena kesenjangan baik sosial dan terutama di bidang ekonomi yang masih sampai saat ini muncul di Indonesia.