Senin, 19 November 2007

Global Warming


Sudah hampir satu bulan belakangan ini cuaca, curah hujan dan iklim di Jakarta menjadi tidak menentu. Perubahan cuaca dengan cepat mulai mempengaruhi hampir seluruh warga penghuni kota ini tentunya. Begitupun yg dirasakan oleh hampir sebagian besar para pekerja yg mengadu nasib, tinggal dan bekerja di kota besar yg sebentar lg kelihatannya akan mulai terkenal dengan istilah atau sebutan megapolitan tersebut.


Siklus cuaca dan curah hujan yg berangsur-angsur bisa berubah-ubah setidaknya hampir dua atau tiga kali dalam sehari, tentu saja membuat kepanikan dan ketakutan tersendiri. Bagaimana tidak, bila lagi hari matahari bersinar terang benderang, lalu bisa berubah menjadi mendung dan berawan di siang harinya. Apakah ini pertanda dari global warming, yg saat ini sedang ramai dan marak dibicarakan oleh dunia?


Saya tidak begitu paham akan gejala dan kondisinya global warming tersebut, apakah memang ini pertanda pemanasan global itu ataukah ini mungkin hanya kejadian yg semata-mata cuma pergantian siklus dari musim panas ke musim hujan saja, yg sering terjadi di negara tropis seperti Indonesia.


Singkatnya saya hanya mengetahui bahwa perubahan dari terik ke dingin terlihat begitu kentara di bulan november ini. Terlebih lagi, biasanya (saya sudah hampir hapal dengan perubahan ini, karena kebetulan meja kantor saya dekat dengan kaca jadi bisa lgs melihat perubahan cuaca yg tjd) setelah jam tiga sore, kabut tebal menyelimuti hampir sebagian gedung tinggi dan pencakar langit di jakarta. Keadaaan bisa berubah menjadi gelap saat sang kabut merayap turun menuruni gedung tinggi dan menutupi pepohonan dan rambu jalan di sekelilingnya.


Lalu, biasanya setelah kabut turun dan mulai gelap, suara gemuruh kilat atau petir pun mulai terdengar dan terlihat sahut menyahut. Ditambah lagi dengan suara deru angin yg mengibas-ibaskan ujung-ujung daun di pepohonan, bahkan batang pohon, ranting serta cabang pohon dibuat terombang-ambing kekanan kekiri.


Setelah itu biasanya tidak lama kemudian rintik-rintik hujan mulai membasahi jalanan berdebu. Tidak hanya membasahi saja, tetapi derasnya hujan disertai angin dan petir, sempat membuat beberapa lokasi di Jakarta tertimpa banjir untuk kedua kalinya di tahun ini.


Saya teringat saat itu, jam sudha menunjukkan waktu saya pulang kantor. Jam lima lebih dua puluh menit. Cuaca sudah gelap sejak dari jam tiga. Tapi belum juga hujan. Saya memberanikan diri untuk berjalan pulang menyusuri trotoar di sisi jalan. Tak lama, baru setengah perjalanan, saya dikejutkan oleh suara menderu dari hadapan saya. Angin yg begitu kencang sempat bertiup melawan arah saya. Tiupannya begitu kencang, sehingga debu-debu di jalan terangkat, begitupun dengan susunan seng-seng di sepanjang kiri saya yg dipakai untuk menutupi lahan kosong.


Mata saya pun hampir tak bisa melihat apa-apa lagi. Angin yg kencang mengangkut debu membuat mata saya refleks untuk menutup, dan otomatis saya hrs menghentikan langkah sementara. Semua orang sempat panik berlarian. Tapi karena memang saya tidak begitu peka (atau kecapekan) saat itu menanggapi kejadian itu, saya tetap berjalan tenang dan lambat. Baru setelah tiba di rumah, saya baru melihat berita di tv bahwa daerah tempat saya menyusuri jalan tadi, sempat di terjang angin puting beliung yg sempat membuat puluhan pohon tumbang. Saat itu saya terkejut luar biasa. Jadi itu alasan mengapa semua orang berlarian panik.. :)



1 komentar:

Bambang Aroengbinang mengatakan...

dunia apa yg akan kita wariskan adalah dunia yang akan sarat dengan masalah dan bencana; semoga saja bali roadmap memiliki gigi yg cukup kuat, dan semoga saja masalah dan bencana menjadikan manusia semakin kuat....